Perdagangan manusia (trafficking) melalui jalur migrasi telah
menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak dalam
dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan
perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya.
Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya
tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000
manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks
dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas,
nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking
diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas
kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga
kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa
meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global
menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan
perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana
memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari
perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun
perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization)
perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun
perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam
fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak
daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap
korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking
yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi
antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking,
misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan
dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang
dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking
juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan
mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan
sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai
pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang
illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses
migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk
dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran
perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka
diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik
inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal
penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai
bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya
migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons
persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya
dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan
perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah
faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial
budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga
menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi,
sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi
di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan
kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para
perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi
mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak
berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking
dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara
tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan
diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu
baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society.
Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu
sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan
perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai
komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan
seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat
diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan
wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks,
prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran
dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair
dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut
menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme
sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala
hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini
menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan
femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan
membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika
didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk
mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri
seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui
prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan
hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai
konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi
internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang
terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang
rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi
sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi
perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak
berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan
transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri
telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi),
akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi
yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan.
Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan
perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia.
Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari
penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya
kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas
menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan
bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang
mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi
perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan
maskulin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar