Tawuran antar
pelajar akhir-akhir ini semakin memprihatinkan, ratusan nyawa pun telah
melayang dengan sia-sia. Sekitar beberapa minggu yang lalu dikabarkan terjadi tawuran
antar pelajar SMAN 70 DAN SMAN 6 Jakarta adalah tawuran pelajar yang paling
tragis, dimana hingga menewaskan 1 orang siswa, ironis nya lagi si pelaku tidak
menyesali perbuatannya, justru ia merasa puas dan merasa dendamnya telah
terbayar, Astagfirullahalajim, apa yang menbuat pelajar indonesia selalu
membudayakan tawuran, bersikap anarkis dan premanisme seakan ingin menunjukan
jati diri mereka, tentu bukanlah seperti itu,
seorang pelajar seharusnya menunjukan prestasinya di sekolah maupun di
luar sekolah.
Semua itu bisa disebabkan dengan
pengaruh lingkungan disekitar tempat mereka tinggal, dan juga tingkat setres
mereka disekolah yang sudah menggunung karena berbagai pelajaran yang menurut
mereka tidak bermanfaat dan belum patut di pelajari untuk mereka, sehingga
mereka frustasi dan melampiaskannya dengan hal-hal yang negatif
Menteri
pendidikan pun bergegas membenahi sistem pendidikan, Melalui perubahan kurikulum yang menguatkan aspek pembentukan karakter
siswa yang cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual. Bukan
hanya bertujuan mengejar nilai semata.
Namun saya rasa semua itu belum efektif tanpa adanya
pengawasan dari orang tua, dan ketegasan dari seorang guru kepada muridnya agar
lebih meningkatkan berbagai kegiatan di luar jam sekolah, berbeda lagi jika
karakter siswa yang memang sulit untuk di ajak kompromi, yang hidupnya tidak
mau diatur oleh orang lain, ini berarti orang tualah yang harus berperan banyak
dalam mengawasi anaknya.
Berdasarkan
survei yang saya lakukan ternyata para pelajar melakukan tindakan anarkis yang
dituangkan dalam tawuran itu, karena mereka masih muda, maka tingkat
emosionalnya belum bisa dikendalikan, dan hanya sekedar mencari jati diri
mereka yang sesungguhnya.
Maka
dari itu kita sebagai enerasi penerus bangsa harus bertindak tegas dalam
menangani tawuran antar pelajar di indonesia.
Yang harus kita lakukan adalah
terutama bagi sekolah dan pemerintah buatlah sekolah yang menyenangkan bagi
muridnya karena Akibat kurikulum yang
terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa
sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan
masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah
tidak enjoy tetapi malah
stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan
tetapi sebaliknya membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih
senang keluyuran dan kongkow-kongkow
di jalan-jalan dari pada mengikuti pelajaran di sekolah.
Kecerdasan
emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan
hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah memiliki
pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa
melobi, dan bisa Mempengaruhi
manusia lain.
Siswa yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki
“beragam alternatif bahasa” untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia
lain, termasuk dengan seseorang yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang
kecerdasan emosionalnya rendah hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru
sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa “membedakan” musuh. Tolak ukur
seseorang dianggap “kawan” atau “musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia,
asalnya darimana, kalau memakai seragam sekolah “lawan” harus di musuhi.
Seragam sekolah
menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan,
tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas
kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak
bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah
sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan
seragam.
Itulah beberapa tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut
telah diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu
berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan terus
berusaha dan tak kenal menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar