Kamis, 24 Januari 2013

Latar Belakang Pelacuran

Peristiwa pelacuran sudah ada sejak lama, bahkan ratusan tahun sebelum masehi. Pelacuran menjadi suatu perlawanan terhadap hukum pernikahan, dimana di dalamnya terdapat unsur perzinahan. Jadi pelacuran itu ada karena manusia sudah mengenal ikatan dalam pernikahan. Pada umumnya pentas pelacuran dilakukan oleh kaum hawa padahal saat ini masyarakat sudah mengenal yang namanya gigolo. Apakah berbeda? sebenarnya sama, hanya gigolo adalah sebutan pelacur bagi kaum pria. Ditinjau dari segi norma, pelacur dan gigolo sama, hanya permasalahan gender yang membuatnya berbeda. Fenomena pelacuran tentunya juga melanggar norma hukum, adat, dan budaya. Secara sederhanana pelacuran adalah bentuk nyata dari hubungan kelamin di luar pernikahan.
            

         Pada dasarnya pelacuran adalah sebuah sarana penjualan jasa seksual. Penjualan jasa seksual, misalnya hubungan intim, oral seks, yang dilakukan untuk memperoleh uang. Pekerjaan para pelacur pada umumnya adalah menyewakan tubuhnya kepada pelanggan. Para pelacur memberikan ‘service’ supaya para pelanggan/konsumen dapat terpuaskan. Di Indonesia para pelacur disebut juga PSK, yaitu singkatan dari Pekerja Seks Komersial. Demi mendapatkan uang, para pelacur harus berusaha menyingkirkan segala norma yang ada dalam masyarakat. Mereka harus bisa menerima resiko dari pekerjaan mereka, entah itu dikucilkan, maupun didigusur dari pergaulan. Selain itu mereka juga harus siap untuk menghadapi konsekuensi hukum, karena pekerjaan mereka melanggar norma hukum dan agama yang berlaku.
            
           Jika berpikir tentang pekerja seks komersial, maka beberapa pertanyaan akan muncul. Pertanyaan yang paling mendasar adalah ‘siapa yang salah?’. Ketika kita melihat dari segi norma dan hukum maka kita tahu bahwa para PSK lah yang salah. Dengan mudah kita menemukan kesalahan mereka karena mereka melakukan tindakan menyimpang. Di sisi lain kita tidak mengetahui latar belakang mereka sebagai pelacur. pertanyaannya, ‘apakah mereka menginginkan itu?’. Secara logis, wanita tidak akan melakukan hal tersebut jika ada pekerjaan yang lebih baik dan layak. Menjadi PSK membuat mereka merendahkan harga diri mereka demi mendapatkan uang.
            
            Seorang wanita tidak akan menjadi pelacur jika kebutuhan materi sudah dapat dipenuhi. Inilah sebab utama yang membuat para wanita rela mengorbankan harga dirinya. Tekanan ekonomi membuat seseorang untuk melakukan segara cara, apalagi kebutuhannya mendesak. Saat mereka menemukan jalan buntu, jalan yang terbuka lebar dan mudah dilakukan adalah menjadi seorang pekerja seks komersial. Dengan menjadi PSK, mereka mampu mendapatkan uang dalam waktu yang singkat, apalagi mereka bekerja individu, tidak melibatkan mucikari. Berawal dari sana mereka akan menganggap bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang paling baik. Mereka bisa membiayai diri mereka sendiri, mungkin bisa membiayai keluarga mereka.
            Menjadi seorang PSK tidak melulu akibat tekanan ekonomi. Banyak hal lain yang menjadi alasan para wanita menjajakan dirinya. Alasan lain yang paling masuk akal adalah tingkat pendidikan. Hal utama yang mendasar adalah kebodohan, kurangnya pendidikan atau intelegensi. Sebenarnya banyak para pekerja seks yang mempunyai pendidikan, contohnya : mahasiswa atau pelajar SMA. Mereka menjadi PSK karena dorongan kehidupan hedonis, karena mereka menginginkan lebih dari sekedar uang jajan/uang bulanan.Dalam hal ini mereka menjadi pelacur karena mereka ingin memenuhi kebutuhan psikologi mereka, mereka menghendaki kemewahan tidak sekedar cukup. Pada kenyataannya, para PSK yang bekerja di tempat pelacuran besar (yang dipekerjakan oleh mucikari) tidak mempunyai pendidikan seperti halnya mahasiswa. Mereka berasal dari keluarga miskin di desa. Mereka bekerja hanya untuk mendapatkan kebutuhan materi, tidak peduli dampak atau akibat yang akan terjadi setelahnya.
 
            Banyak sekali tempat pelacuran yang ada di Indonesia. Saya akan mengambil satu contoh tempat lokalisasi besar di Indonesia. Sebagian besar orang Yogyakarta pastinya tahu yang namanya “Sarkem”. Sarkem merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang ada di Indonesia. Letaknya di sebelah selatan stasiun Tugu, berdekatan dengan kawasan Malioboro. Sarkem adalah nama lain suatu kampong bernama Sosrowijayan yang terletak di Pusat Kota Yogyakarta. Menurut warga setempat, pelacuran di Sarkem sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, lebih dari 100 tahun yang lalu. Kegiatan ekonomi warga dan Sarkem seakan sudah menjadi simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Warga kampung Sosrowijayan juga berbisnis dari adanya fasilitas sarana wisata, seperti tempat untuk menginap, warung, dan rumah makan. Warga di sini menyediakan kamar dan menyediakan rumah bagi pekerja seks.
             
        Undang-undang mengenai pelarangan pelacuran sudah ada sejak lama. Seperti pada tanggal 2 November 1954 dikeluarkan peraturan daerah No. 15/1954 tentang penutupan tempat-tempat pelacuran. Undang-undang ini membuktikan bahwa kegiatan pelacuran di Indonesia sudah ada sejak dulu. Setelah itu banyak diberlakukan banyak undang-undang yang mengatur kegiatan pelacuran, tetapi kenyataannya sampai saat ini tempat pelacuran masih ada. Tempat pelacuran, khususnya di Sarkem seakan sudah dilegalkan oleh pemerintah setempat.
            
          Setelah melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sebagai pelacur bisa dianggap sebagai pekerjaan berat yang tentunya tidak mudah. Banyak sekali kesengsaraan di sana. Mungkin kita masih bisa melihat kehidupan yang lebih baik di Sarkem, tetapi di tempat lain kehidupan para pelacur jauh lebih memprihatinkan. Mereka terkekang tetapi harus melakukan sesuatu untuk makan, untuk hidup. Saya akan memberikan contoh ekstrim penderitaan pelacur pada umumnya:
            
Melihat kenyataan di atas, kasus perdagangan perempuan dan pelacuran juga merupakan cerminan pelanggaran hak asasi manusia. Hak asasi manusia perempuan seakan terinjak-injak. Apakah adil jika menyalahkan pihak wanita pada kasus pelacuran? sepertinya tidak. Ia bekerja karena latar belakang ekonomi. Tidak ada yang memaksa seorang wanita bekerja sebagai pelacur, hanya keadaan yang menuntunnya sampai di sana.

          Seiring munculnya individu-individu yang refleksif, maka adanya globalisasi juga semakin melibatkan setiap orang ke suatu jaringan resiko, dalam konteks ini : seks. Pelacuran sudah ada dari dulu bahkan sebelum Indonesia merdeka. Seiring berjalannya waktu kegiatan pelacuran di Indonesia tidak berkurang, bahkan semakin merajalela. Banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pelacuran, seperti pekerja, mucikari, maupun pelanggan. Menurut saya saya sungguh tidak adil ketika seseorang berpendapat bahwa pekerja yang paling disalahkan. Mereka hanya terjerumus ke dalam keadaan, yang tidak mereka inginkan. Yang perlu dilakukan bukan menyudutkan dan mengucilkan para PSK, tetapi bagaimana kita bisa menyingkirkan persepsi buruk yang berlebihan karena kita belum melihat kenyataan yang sesungguhnya.

1 komentar: