Pola mobilitas penduduk atau yang lebih
sering disebut dengan migrasi antar kota ataupun antar pulau dalam satu
negara, sangat menarik untuk didiskusikan karena berkaitan dengan
penyusunan kebijakan pemerintah dalam pembangunan di daerah asal maupun
daerah tujuan migrasi tersebut terjadi. Penduduk sebagai subyek
pembangunan, mempunyai peranan dan pengaruh yang tinggi terhadap setiap
kebijakan negara dalam aspek kependudukan. Ada alasan dan faktor yang
mencetuskan terjadinya migrasi tersebut.
Di sisi lain, otonomi daerah menjadikan
kabupaten maupun propinsi dalam menata rumah tangganya semakin leluasa.
Akselerasi pembangunan diharapkan terjadi di semua pemerintah daerah
sehingga memperkecil jurang ketimpangan antar kabupaten. Jawa, dengan
jumlah penduduk yang lebih padat dibandingkan pulau lain di nusantara,
sekaligus sebagai pusat perekonomian memiliki masalah dengan daya dukung
lingkungan yang sudah tidak mampu lagi mengiringi semua aktifitas yang
dilakukan manusia lagi. Darwin (2008) menyatakan Strategi pemekaran kota
secara horisontal yang terjadi di Jawa, akan memberikan label jawa
sebagai Pulau Kota. Hal ini berdampak pada semakin kuatnya magnet bagi
para migran dari luar Jawa, disamping juga menimbulkan krisis baru
dibidang lingkungan. Pemekaran wilayah, tentu berdampak pula pada lahan
yang semakin berkurang dengan kalimat lain “boros lahan”. Daya dukung
lingkungan berkurang, dalam jangka panjang akan mempengaruhi kualitas
hidup manusia yang berada di dalamnya.
Menurut buku “asal usul dan persebaran
manusia di kepulaan Indonesia”, para ahli geologi memperkirakan bahwa
pada kala pleistosen khususnya ketika terjadinya glasiasi, Kepulauan
Nusantara ini bersatu dengan daratan Asia, memungkinkan terjadinya
perpindahan manusia dan hewan dari daratan Asia ke Indonesia bagian
barat, atau sebaliknya. Adapun Paparan Sahul memungkinkan terjadinya
perpindahan manusia dan hewan dari daratan Australia ke Indonesia bagian
timur, atau sebaliknya. Proses migrasi yang terjadi pada masa
pleistosen ini menyebabkan wilayah Nusantara mulai dihuni oleh manusia.
Migrasi di atas dilihat dari aspek historis dan faktor yang memicu
adalah adanya perubahan alam.
Migrasi penduduk antar propinsi dan
migrasi desa-kota selalu tertuju ke Jawa. Faktor tersebut dipicu adanya
ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Industri dan
Jasa selama ini selalu berpusat di kota kota besar, dengan pertimbangan
mudahnya akses tenaga kerja atau buruh, akses sarana produksi serta
kemudahan infrastruktur yang sudah tersedia, menjadi pertimbangan
investor menempatkan lokasi usaha mereka.
Mobilitas penduduk hanyalah satu dari
sekian banyak masalah di sektor kependudukan seperti mortalitas,
morbidita dan fertilitas. Upaya mengelola sektor kependudukan dengan
adanya fenomena migrasi menuntut kebijakan yang menyeluruh, tidak
sekedar menggantungkan pada proses otonomi daerah. Dalam perjalanannya,
sudah lebih dari sepuluh tahun otonomi berjalan dan dilaksanakan oleh
negara kita tercinta yang sedang belajar berdemokrasi. Menurut Dwiyanto
(2010;253), dalam mengembalikan kepercayaan publik melalui reformasi
birokrasi mengemukakan bahwa karena desentralisasi dilakukan di bawah
tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuat kerangka kebijakan yang
menyeluruh, koheren dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan
kebijakan reformasi lainnya. Masih menurut Dwiyanto, tujuan
desentralisasi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala
oleh kecenderungan DPRD dan birokrat menghabiskan sebagian besar
anggaran untuk belanja pegawai, dan sebagian kecil untuk sektor
pelayanan publik.
Darwin (2008) mengajukan ide yaitu
distribusi aktivitas ekonomi. Harus diciptakan pusat-pusat pertumbuhan
di luar Jawa. Sehingga gulanya menyebar tidak hanya di Jawa saja tapi
juga di luar Jawa. Kalau gulanya menyebar, semuanya juga akan menyebar.
Prinsip demografi kuno itu harus menjadi sandaran pengembangan kebijakan
ke depan. Supaya tekanan kependudukan di Jawa itu bisa diatasi. Hal
lain yang tak kalah penting juga adalah bagaimana mensiasati Jawa yang
padat ini sehingga tidak menciptakan kemiskinan. Karena angka kemiskinan
di Jawa juga tinggi terutama di pedesaan.Ini menyangkut strategi
pembangunan di Jawa.
Sementara itu pembangunan suatu negara
tidak bisa dihindarkan dengan faktor kebijaksanaan dibidang
ketenagakerjaan, termasuk pengendalian mobilitas tenaga kerja. Adanya
rekayasa mobilisasi tenaga kerja seperti yang pernah dilakukan dahulu
(program transmigrasi) menjadi sesuatu hal yang tidak relevan lagi dalam
menghadapi tantangan ke depan. Pendekatan yang tampaknya paling relevan
saat ini adalah pendekatan akomodatif – manipulatif yang mana tidak
ditujukan untuk ‘melawan’ pasar, tetapi justru untuk ‘mempengaruhi’ atau
bahkan ‘menciptakan’ pasar. Penerapan pendekatan ini diharapkan tidak
memberikan efek negatif baik pada wilayah asal maupun wilayah tujuan.
Sehingga pada akhirnya, kedewasaan
birokrat dalam mengemban amanah rakyat menjalankan otonomi harus seiring
dengan kebijakan negara dibidang kependudukan yang komprehensif.
Faturochman dan Dwiyanto (2000) mendiskripsikan isu isu pokok yang
menjadi pekerjaan rumah bagi negara pertama, visi dan arah
pembangunan kependudukan perlu diperjelas. Selama ini hanya menekankan
aspek kuantitatif seperti penurunan angka fertiltas,angka mortalitas dan
program transmigrasi. Reorientasi pada implementasi program serta hasil
yang menekankan pada kualitas penduduk sudah saatnya menjadi arah
kebijakan baru. Pengedalian kependudukan tidak sekedar menekan laju
pertumbuhan namun juga harus memperhatikan hak hak reproduksi (lihat
tulisan Muhadjir Darwin). Kedua, keserasian kebijakan dan
program tidak hanya dituntut pada tingkat pusat. Keserasian antara pusat
dan daerah seharusnya menjadi sasaran kinerja program. Isu
ketidakserasian program antara pusat dan daerah sudah lama terjadi,
namun tidak ada upaya yang serius untuk memecahkannya.
Peran kontrol masyarakat terhadap
pelaksanaan pemerintahan, akan mendorong terciptanya pemerintahan yang
“baik”. Dengan terciptanya tata pemerintahan yang baik, maka tujuan
negara dalam peningkatan taraf hidup masyarakat akan tercipta. Masalah
kependudukan akan berkurang dengan sendirinya.
Miskin sumber
BalasHapus