Minggu, 20 Januari 2013

Hubungan Migrasi Dengan Kesejahteraan

     Pola mobilitas penduduk atau yang lebih sering disebut dengan migrasi antar kota ataupun antar pulau dalam satu negara, sangat menarik untuk didiskusikan karena berkaitan dengan penyusunan kebijakan pemerintah dalam pembangunan di daerah asal maupun daerah tujuan migrasi tersebut terjadi. Penduduk sebagai subyek pembangunan, mempunyai peranan dan pengaruh yang tinggi terhadap setiap kebijakan negara dalam aspek kependudukan.  Ada alasan dan faktor yang mencetuskan terjadinya migrasi tersebut.


     Di sisi lain, otonomi daerah menjadikan kabupaten maupun propinsi dalam menata rumah tangganya semakin leluasa. Akselerasi pembangunan diharapkan terjadi di semua pemerintah daerah sehingga memperkecil jurang ketimpangan antar kabupaten. Jawa, dengan jumlah penduduk yang lebih padat dibandingkan pulau lain di nusantara, sekaligus sebagai pusat perekonomian memiliki masalah dengan daya dukung lingkungan yang sudah tidak mampu lagi mengiringi semua aktifitas yang dilakukan manusia lagi. Darwin (2008) menyatakan Strategi pemekaran kota secara horisontal yang terjadi di Jawa, akan memberikan label jawa sebagai Pulau Kota. Hal ini berdampak pada semakin kuatnya magnet bagi para migran dari luar Jawa, disamping juga menimbulkan krisis baru dibidang lingkungan. Pemekaran wilayah, tentu berdampak pula pada lahan yang semakin berkurang dengan kalimat lain “boros lahan”. Daya dukung lingkungan berkurang, dalam jangka panjang akan mempengaruhi kualitas hidup manusia yang berada di dalamnya.

    Menurut buku “asal usul dan persebaran manusia di kepulaan Indonesia”, para ahli geologi memperkirakan bahwa pada kala pleistosen khususnya ketika terjadinya glasiasi, Kepulauan Nusantara ini bersatu dengan daratan Asia, memungkinkan terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Asia ke Indonesia bagian barat, atau sebaliknya. Adapun Paparan Sahul memungkinkan terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Australia ke Indonesia bagian timur, atau sebaliknya. Proses migrasi yang terjadi pada masa pleistosen ini menyebabkan wilayah Nusantara mulai dihuni oleh manusia. Migrasi di atas dilihat dari aspek historis dan faktor yang memicu adalah adanya perubahan alam.
Migrasi penduduk antar propinsi dan migrasi desa-kota selalu tertuju ke Jawa. Faktor tersebut dipicu adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Industri dan Jasa selama ini selalu berpusat di kota kota besar, dengan pertimbangan mudahnya akses tenaga kerja atau buruh, akses sarana produksi serta kemudahan infrastruktur yang sudah tersedia, menjadi pertimbangan investor menempatkan lokasi usaha mereka.


     Mobilitas penduduk hanyalah satu dari sekian banyak masalah di sektor kependudukan seperti mortalitas, morbidita dan fertilitas. Upaya mengelola sektor kependudukan dengan adanya fenomena migrasi menuntut kebijakan yang menyeluruh, tidak sekedar menggantungkan pada proses otonomi daerah. Dalam perjalanannya, sudah lebih dari sepuluh tahun otonomi berjalan dan dilaksanakan oleh negara kita tercinta yang sedang belajar berdemokrasi. Menurut Dwiyanto (2010;253), dalam mengembalikan kepercayaan publik melalui reformasi birokrasi mengemukakan bahwa karena desentralisasi dilakukan di bawah tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuat kerangka kebijakan yang menyeluruh, koheren dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan kebijakan reformasi lainnya. Masih menurut Dwiyanto, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrat menghabiskan sebagian besar anggaran untuk belanja pegawai, dan sebagian kecil untuk  sektor pelayanan publik.
     
     Darwin (2008) mengajukan ide yaitu distribusi aktivitas ekonomi. Harus diciptakan pusat-pusat pertumbuhan  di luar Jawa. Sehingga gulanya menyebar tidak hanya di Jawa saja tapi juga di luar Jawa. Kalau gulanya menyebar, semuanya juga akan menyebar. Prinsip demografi kuno itu harus menjadi sandaran pengembangan kebijakan ke depan. Supaya tekanan kependudukan di Jawa itu bisa diatasi. Hal lain yang tak kalah penting juga adalah bagaimana mensiasati  Jawa yang padat ini sehingga tidak menciptakan kemiskinan. Karena angka kemiskinan di Jawa juga tinggi terutama di pedesaan.Ini menyangkut strategi pembangunan di Jawa.
     
     Sementara itu pembangunan suatu negara tidak  bisa dihindarkan dengan faktor kebijaksanaan dibidang ketenagakerjaan, termasuk pengendalian mobilitas tenaga kerja. Adanya rekayasa mobilisasi tenaga kerja seperti yang pernah dilakukan dahulu (program transmigrasi) menjadi sesuatu hal yang tidak relevan lagi dalam menghadapi tantangan ke depan. Pendekatan yang tampaknya paling relevan saat ini adalah pendekatan akomodatif – manipulatif yang mana tidak ditujukan untuk ‘melawan’ pasar, tetapi justru untuk ‘mempengaruhi’ atau bahkan ‘menciptakan’ pasar. Penerapan pendekatan ini diharapkan tidak memberikan efek negatif baik pada wilayah asal maupun wilayah tujuan.
     
     Sehingga pada akhirnya, kedewasaan birokrat dalam mengemban amanah rakyat menjalankan otonomi harus seiring dengan kebijakan negara dibidang kependudukan yang komprehensif. Faturochman dan Dwiyanto (2000) mendiskripsikan isu isu pokok yang menjadi pekerjaan rumah bagi negara pertama, visi dan arah pembangunan kependudukan perlu diperjelas. Selama ini hanya menekankan aspek kuantitatif seperti penurunan angka fertiltas,angka mortalitas dan program transmigrasi. Reorientasi pada implementasi program serta hasil yang menekankan pada kualitas penduduk sudah saatnya menjadi arah kebijakan baru. Pengedalian kependudukan tidak sekedar menekan laju pertumbuhan namun juga harus memperhatikan hak hak reproduksi (lihat tulisan Muhadjir Darwin). Kedua, keserasian kebijakan dan program tidak hanya dituntut pada tingkat pusat. Keserasian antara pusat dan daerah seharusnya menjadi sasaran kinerja program. Isu ketidakserasian program antara pusat dan daerah sudah lama terjadi, namun tidak ada upaya yang serius untuk memecahkannya.
     
     Peran kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan, akan mendorong terciptanya pemerintahan yang “baik”. Dengan terciptanya tata pemerintahan yang baik, maka tujuan negara dalam peningkatan taraf hidup masyarakat akan tercipta. Masalah kependudukan akan berkurang dengan sendirinya.

1 komentar: